Rabu, 16 Januari 2008

Rice Culture is Nothing, but Music

Rice Culture is Nothing, but Music
Oleh: Ki Denggleng Pagelaran
BUDAYA INDONESIA BELUM ADA ???

Doktor Karlina Leksono pada Diskusi Panel Perkembangan Ilmu dan Teknologi (IPTEK) serta Dampaknya terhadap Budaya Bangsa hampir lima tahun lalu “ Bentara Budaya Jakarta, 17/9-2002 “ memaparkan makalah bertema Kontekstualisasi Falsafah Sains dalam Budaya Indonesia. Makalah yang sangat hidup bernuansakan seni filsafati itu diberi judul "Sains: Menjadikannya Berdarah Bertulang Belulang Manusia". Sayang sekali bahwa pernyataan yang terkait dengan budaya Indonesia , tidak begitu menonjol. Di sesi lain pada acara yang sama, Profesor Teuku Yacob bahkan menyatakan: "Budaya Indonesia yang homogen sebagai satu kesatuan yang mudah dikenal atau didefinisi, menurut hemat saya belumlah ada!"

Memang sangat sulit menemukan dan membangun budaya homogen bagi seluruh lingkup budaya Nusantara yang beraneka ragam. Mungkin juga semboyan pada bentangan pita putih tempat bertenggernya Paksi Garuda Pancasila, menjadi tidak utuh. Cukup sampai Bhineka Tunggal! Sebab, meskipun penerapan dan pengembangan ilmu dan teknologi semakin canggih, justru telah membawa penyeragaman tingkat lanjut, khususnya yang menimpa budaya pertanian. Pertanian adalah salah satu penciri budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa agraris dan maritim.

KETERGANTUNGAN PERTANIAN INDONESIA
Pertanian Indonesia dewasa ini sudah menderita ketergantungan yang sangat parah terhadap ilmu dan teknologi modern. Khususnya pada subsektor pertanian tanaman pangan. Berita kelangkaan pupuk urea bagi petani karena berkurangnya pasokan gas sebagai bahan baku urea beberapa tahun lalu, segera membawa kekhawatiran nasional akan kelangkaan pangan. Ini menunjukkan bahwa dampak perkembangan teknologi pertanian berinput tinggi telah mengikis ketangguhan budaya pertanian warisan leluhur. Indigenous knowledge pertanian Nusantara yang kaya padi hilang terkikis ketika teknologi budidaya tanaman dari luar Nusantara diterapkan dengan serta-merta.

Teknik budidaya “ yang dianggap modern “ itu belum sempat diadopsi dan diadaptasikan dengan budaya Nusantara. Oleh karena itu ibarat dua arus sungai yang bertemu, penerapan teknologi pertanian modern pada budaya pertanian tradisional merupakan suatu campuh arus pusaran kali tempuran sebelum menjadi satu arus besar ke hilir. Dominansi arus teknologi yang bertakaran ekonomi, rupanya lebih kuat dan mendesak budaya pertanian indigenous yang kosmo-spiritualis.

Tiba-tiba sebagai bangsa kita menemukan diri telah menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Tiba-tiba kita menemukan bahwa luas panenan padi nasional tidak pernah berkembang, bahkan menyusut. Tiba-tiba kita temukan bahwa petani padi tidak lagi pandai membaca alam dan musim. Pranata mangsa menjadi lenyap dari memori petani. Kita mendapati petani padi yang tidak menguasai lagi cara bercocok-tanam palawija. Lahan sawah beririgasi teknis tak henti-hentinya ditanami padi, padi dan padi lagi sepanjang tahun. Setiap tahun hampir seluruh biomasa padi diangkut keluar dari lahan persawahan. Lahan sawah semakin kurus, sehingga semakin tinggi kebutuhan pupuk yang harus dimasukkan ke dalamnya untuk menjaga stamina dan kesuburan lahan.

Sustainabilitas lahan dan usahatani tanaman pangan sudah menjadi sesuatu yang berbiaya mahal. Pernah ada informasi bahwa kebutuhan pupuk lahan sawah pantai utara Jawa Barat, bila dihitung mencapai Rp 1.2 trilliyun setiap musim tanam. Maka tak aneh bila guncangan sedikit saja dalam penyediaan pupuk, dengan mudahnya memicu kekhawatiran akan kelangkaan pangan.

Panenan padi diterjemahkan menjadi angka-angka secara menyeluruh. Budaya ani-ani (panen padi secara selektif dengan ketam) digantikan dengan budaya sabit bergerigi, weton Taiwan . Singkatnya semangat intensifikasi meninggalkan ekstensifikasi. Akibatnya lahan petani semakin menyempit. Budaya sawah yang penuh kekeluargaan dan kerukunan berubah menjadi hubungan transaksi antara petani, tengkulak dan Dolog/Bulog. Usahatani padi tak lebih dari sekedar barter waktu buruh tani dengan upah. Angka atau nilai rupiahlah yang berbicara. Jerih payah petani tanaman pangan sepenuhnya dinilai dengan uang. Dan itu terlalu murah!
Buktinya? Ketika panen melimpah harga menjadi murah, sementara petani telah kehilangan budaya menyiapkan lumbung, penyimpan padi dan gabah. Pertanian telah sangat bergantung kepada oknum-oknum serakah. Dengan dalih pengembangan akademik, usahatani beralih nama menjadi agrobisnis, bisnis-nya menjadi subyek, agro-nya sekedar predikat, karena cederung mengikuti LOGIKA BAHASA INGGRIS. Semua korbanan usahatani dinilai sebagai sumberdaya.

Menilai jumlah pupuk menjadi sama saja dengan menilai upah tenaga kerja. Pertanian telah kehilangan wajah kemanusiaannya!

Sedang sesungguhnya pertanian tradisional membawa greget sosial dan juga membawa keindahan. Sesungguhnya bercocok-tanam adalah wujud budaya dan seni pertanian itu sendiri. Tetapi ketika segala sesuatunya dinilai dengan uang, maka hambarlah budaya pertanian itu. Menyisakan rona budaya papa-cintraka yang disingkiri bahkan oleh anak-cucu petani itu sendiri. Ibu Pertiwi tak sanggup memberi makan kepada anak-anak bangsanya. Dapatkah semua itu diperbaiki dan dikembalikan?UDAYA PADI = MUSIK

Kembali kepada event diskusi panel saat Dr Karlina memaparkan makalahnya. Ketika itu Profesor Justika Baharsjah hadir sebagai peserta. Ketika beliau mendapatkan kesempatan bertanya dan memberikan tanggapan, betapa lebih nyatanya fakta keterdesakan budaya pertanian dalam arus perkembangan IPTEK (Tanpa S - tanpa seni). Profesor Justika, menyampaikan dan memperkenalkan yayasan yang dipimpinnya, Yayasan Padi Indonesia (YAPADI), yang bermotto Rice Not Merely Food “ Padi Bukan Sekedar Pangan.
Ironisnya, sekarang ini akibat pertambahan penduduk yang tanpa diimbangi dengan perluasan lahan panen, padi sudah menunjukkan kelangkaan, paling tidak semakin defisit (tekort) dari tahun ke tahun.

Dengan demikian motto YAPADI menjadi tantangan berat bagi pegiat dan simpatisan pertanian nasional. Visi YAPADI akan sangat berat untuk diwujudkan, misinya menjadi berat dilaksanakan. Visi YAPADI yang cukup panjang berbunyi "A prosperous Indonesia which is capable to provide food for its people, loves and respects its rich rice culture heritage, pays attention to the welfare of rice producers and consumers, and assesses the value of rice field as a valuable asset to be bequeathed to the future generations."

Sungguh suatu cita-cita mulia dan sempurna bagi eksistensi bangsa agraris yang pangan utamanya berbasis nasi dari beras.

Tak heran bila misi yang akan dilaksanakan oleh YAPADI berbunyi: "To mobilize and support all endeavors to stimulate the society's awareness and appreciation on the many roles of rice in Indonesia, and to support farmers for producing enough rice to meet the continuously increasing need without degrading the environment."

Visi dan Misi YAPADI sarat dengan penghargaan tinggi terhadap padi. Budaya pertanian berbasis padi, apa bila berhasil dihidupkan dan disuburkan kembali, maka akan semarak pula kehidupan kebudayaan pertanian Indonesia yang bernuansakan seni dan keindahan bercocok tanam.

Dalam rangka turut serta membantu Prof. Justika menyebarluaskan visi dan misi YAPADI inilah, tulisan ini saya coba sampaikan di hadapan para pembaca budiman. YAPADI adalah upaya yang cukup bermakna dari segelintir insan peduli padi di Indonesia ini. Keberhasilan YAPADI akan merupakan sumbangan besar bagi upaya bangsa ini untuk lepas dari belenggu ketergantungan impor beras. Dan bila itu tercapai maka untuk pertanian, IPTEK akan bertambah huruf menjadi IPTEKS, yaitu seni. Dengan demikian, untuk budaya bercocok-tanam padi, dengan meminjam ungkapan Dr. Karlina yang mengutip Bryan Greene dalam mencitra alam semesta yang serba musik “ Universe is Nothing, but Music“ menjadi Rice Culture is Nothing, but Music.

Bogor , 10 Januari 2008 - dipermak dari tulisan lama (23 Maret 2005)
Ki Denggleng Pagelaran

Tidak ada komentar: