Rabu, 16 Januari 2008

Obrolan di sela seminar sehari SRI

Hanya kebiasaan nih, iseng -iseng tuh muncul aja. Jeprat-jepret aku moto-moto. Lalu thenger-thenger nguping pidatonya Prof. Norman Uphoff. (Sayang warna layar kebanyakan ijo
pupus... jowo banget wis...) jadi ya kurang jelas. Cuma tiba-tiba ketika ngampiri KOPI-aroma-Jahe, dekat KSM... eee KSM langsung nyelethuk... "Wiiissss... . kok tibaknya mbulat-mbulet
gitu ya SRI itu. Lha kan masalahnya tinggal gimana ngatur air. Institusi ULU-ULU harus dihidupkan lagi. Malah gak perlu lurah, gak perlu kebayan, gak perlu carik.... Camat atau siapa saja yang peduli, ngumpulkan ULU-ULU itu buat giat lagi seperti dulu ada P3A itu.

Singkatannya opo embuh aku lali, yang jelas ngurusi air... air pertanian. Disitulah nanti ketemunya departemen (dinas) pertanian dengan departemen (dinas) PU... syukur-syukur juga DepDagri... dan ini gublug-nya dagri, kenapa gak nggarap 'Ulu-Ulu' ini...?"
------------ -----
Ulu-ulu itu di Bali sana melembaga ke tingkat banjar bernama subak (kalau tak salah). Sama halnya bila SRI diterapkan di Indonesia, tentu harus melalui proses "trial and error" atau cocok cocokan untuk mendapat kesesuaian. Bagi wilayah mudah air, ya kenapa harus repot-repot nge-SRI...? Yang salah satu demo-nya nyemai padi di atas nampan daun pisang, agar nanti mudah dibawa ke sawah untuk diceblokkan.

Lha iya itu percobaan beberapa hektar.. lha kalau SRI-nya 10,000 hektar sekaligus... apanya gak mbrindhili pohon-2 pisangnya... . ;_0.

Tapi ya bukan anti. Malah tiba-tiba mak nyuuuut ingat kejadian di Papua kemarin. Di kampung Onar, tempat nginap-ku kedatangan sejoli Transmigran dari Banjarnegara dan Malang bertemu di Transmigrasi terus jadilah keluarga Transmigran Womrey atau apa gitu.). Menariknya, edua
orang itu harus jalan dua hari dua malam untuk jualan sayur mayur ke Onar (yang desa nelayan). Termasuk dia bawa TEMPE.

Waktu dibuka, aku langsung komentar: "Wuuuuikk, ndah enaknya tuh tempe.. putih dan tebel bulunya hahahaha.. Itu kedelenya dari mana Pak?"

"Ya tanam sendiri lah Pak. Kebetulan bisa keluar agak banyak panenan kali ini... gak banyak hujan lagi. Bisalah ditempe-kan. Apalagi kan lumayan, sepotong gini Rp 1000,- lho jadi ini
seplastik yaaaa Rp 25,000an lah..."

"Kalau kedele mentahan berapa Pak?"

"Waaa ya tidak pernah dijual mentahan je Pak. Seringnya ya buat tempe ini. Bila berlebih kan masih bisa dikeripik.

Tapi selalu habis kok kalau dijual sampai Onar sini..."
------------ --------- --------

Obrolan di sela-sela SRI tadi benar-benar mengingatkan saya tentang kedelai "Gimana Mas ggleng, petani kita kudu dikurangi hingga berapa persen, agar layak usahataninya? "

Belum kujawab, KSM sudah berujar: "Dikurangi lagi? Sekarang ini kan permasalahannya, bagaimana memberi pekerjaan kepada 80% angkatan kerja dari budaya agraris di sektor pekerjaan non-agraris, kalau petani riil ya cuma 20% pupulasi Indonesia... "

"Lha yang lainnya, Pak?"

"BURUH TANI gitu kok.. kalau dah gak bisa mburuh ya ke kota, nyerbu kota... kalau gak ya jadi TKW atau TKI..."

--> Lho-lho, lalu kaitannya dengan Kedelai dan SRI mana? Kaitannya malah jauh ke lokasi transmigrasi. Alasannya? Para transmigran itu hingga sekarang boleh dikatakan menjadi PETANI Tulen... punya lahan, punya tenaga,...tapi belum punya pasar.... dan bagusnya belum banyak terpengaruh impor (benih palawija terutama).

Alasan kedua, ekosistem transmigrasi (di luar beberapa lokasi yang berhasil maju, seperti Wawotobi, Sitiung, Lapoa, dan Arso) umumnya adaptif untuk SRI. SRI kemudian menerapkan tumpang gilir palawija... lha palawijanya dipilih kedelai....

Tinggal sekarang menciptakan Pasar bagi transmigran. ..lama-lama jadi pula konsep PAWITAN-transmigrasi....lengkap dengan jalur-jalur perhubungan dan telekomonikasinya.

[bayangkan saja, setiap KK transmigran kan punya sedikitnya 2,5 hektar lahan pertanian? - dulu di pemukiman PIR-Trans Jambi sekaligus ditempatkan 3000 KK... jadi sekali buka ada 7,500 hektar lahan pertanian, kan?]

--nuhun--
[benih kedelainya dari mana? Yaaa dari hasil rakitan pemulia kedelai dong... gak usah nunggu lama-lama prosedurnya... kirim beberapa nomor ke transmigran di remote area.... nomor cocok, lanjutkan... yang gak bagus ya setop, atau ganti nomor baru.... dan lalu muncul berbagai nama
kedelai "lokal"... biodiversitas kembali hidup lagi]

Tidak ada komentar: