2008/1/18 Iswandi Anas < iswandi742@yahoo. com>:
Pa Aman Yth,
Kita apalagi petani tentu sudah sangat siap. Yang belum siap para pemegang kekuasaan di negara kita ini.
Saya kaget tadi malam membaca "surat rahasia" dari Kabadanlitbang Pertanian kepada dua Dirjen di Deptan yang mengatakan bahwa SRI is nothing, bohong belaka, scientificly not proven, ini didasar pada salah satu coretan "scientist" IRRI yang benar-benar "iri" dengan SRI karena merasa kakinya 'terinjak' dan juga mengira pupuknya tidak akan terjual!!
Saya rasa untuk padi IRRI bukan segala-galanya. Jadi jangan "oknum scientist IRRI" dianggap dewa apalagi yang bicara satu orang seperti yang dilakukan oleh Pejabat Teras kita ini. Antek-antek IRRI yang bicara, langsung dijadikan dasar untuk membuat "kebijakan Nasional Indonesia".
Cobalah luangkan waktu, buka mata, melihat kekiri dan ke kanan, mau jalan ke lapangan, bicara dengan orang yang sudah bertahun-tahun merintis, meneliti, dengan segala suka dukanya, dengan "biaya sendiri" tanpa sepeserpun meminta dari pemerintah atau ada orang asing yang bekerja dengan perusahaannya di Indonesia, tetapi menruh "minat" untuk membantu petani Indonesia, tetapi ybs bukannya disambut, tetapi diacuhkan bahkan dianggap "lawan".
Saya baru saja melihat apa yang dikerjakan kawan-kawan petani, pionir di desa Petir Kecamatan Nagrak Sukabumi, benar-benar menakjubkan! ! Saya juga mendengan cerita petani dari Ciamis, depok, tasik dsb yang datang ke Nagrak untuk workshop. Saya percaya petani, apa yang mereka katakan adalah dari hati mereka tetapi tidak percaya "oknum pejabat". Mereka datang dengan biaya sendiri. Mereka bekerja dari dana pribadi mereka.
Mereka bukan LSM!! Saya kagum dengan keuletan mereka dalam membina petani. meraka tidak m,engharapkan tanda jasa, yang mereka harapkan hanyalah harga yang wajar. Padi yang mereka tanam satu batang menghasilkan 73 batang!!! Bukan satu dua hektar, tetapi sudah ratusan hektar dan saat ini sudah ribuan hektar di jawa barat saja. belum lagi yang di Indonesia bagian Timur.
Saya betul-betul kagum dengan mereka. Suatu saat bila Pa Aman ada waktu dari pada libur di puncak, datanglah ke Desa Petir ini, dijamin keindahan alamnya dan kenyamanan tidak kalah dengan puncak.
Salam,
IAC
Maaf
Saya rasa IRRI harus juga kita reformasi, karena saya lihat ada juga pengaruh politis di IRRI. Sebagai contoh upland rice tidak pernah akan diteliti oleh IRRI padahal produksi upland rice ini bisa mencapai 7-8 ton di beberapa lokasi di Indonesia, di Thailand, China dan Vietnam! Kita bayar iuran IRRI, jadi kita wajib menyampaikan hal ini kepada Direktur Jendral IRRI. Kita tahu sawah kita diklaim sebagai penghasil metan sehingga Indonesia di tuduh sebagi 3 negara terbesar penghasil metan setelah China dan India.!! Padahal kalau upland rice kita kembangkan tidak akan ada masalah metan!! Saya sudah pernah menyampaikan agar IRRI juga meneliti uplandrice langsung kepada Director General IRRI disuatu symposium international di jepang!!
Jumat, 18 Januari 2008
Peminat Bidang Pertanian Turun
Peminat Bidang Pertanian Turun
Jakarta, Kompas - Minat lulusan SMA untuk mengambil program studi pertanian cenderung menurun karena dianggap kurang prospektif. Karena itu, pemerintah harus merestrukturisasi program studi di fakultas-fakultas pertanian agar tetap menarik.
Suntoro Wongso Atmojo, Sekretaris Jenderal/Ketua Pokja Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI), yang dihubungi di Solo, Kamis (17/1), mengatakan, penurunan minat calon mahasiswa ini terutama untuk program studi yang dinilai tidak menjanjikan, seperti hama, pemuliaan tanaman, tanah, dan penyuluhan.
Akibatnya, banyak program studi pertanian yang sudah terspesialisasi ini kekurangan calon mahasiswa. Hal itu bertolak belakang dengan program studi agrobisnis yang justru kelebihan peminat. "Sekarang, bidang kerja di pertanian dianggap tidak menjanjikan," kata Suntoro yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Sebelas Maret.
M Ahmad Chozin, Wakil Rektor Bidang Akademik Institut Pertanian Bogor, mengatakan, penurunan minat dan aksesibilitas merupakan isu utama peningkatan SDM pertanian saat ini.
Pada seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun lalu, dari 470 program studi yang daya tampungnya tidak terpenuhi, sebanyak 213 program studi di antaranya (45,3 persen) terkait erat dengan pertanian.
Chozin mengatakan, rendahnya minat terhadap pertanian sangat ironis karena Indonesia merupakan negara agraris. Pemerintah juga kurang memerhatikan pertanian sehingga ketahanan pangan menjadi rawan karena mengandalkan impor. (ELN)
Jakarta, Kompas - Minat lulusan SMA untuk mengambil program studi pertanian cenderung menurun karena dianggap kurang prospektif. Karena itu, pemerintah harus merestrukturisasi program studi di fakultas-fakultas pertanian agar tetap menarik.
Suntoro Wongso Atmojo, Sekretaris Jenderal/Ketua Pokja Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI), yang dihubungi di Solo, Kamis (17/1), mengatakan, penurunan minat calon mahasiswa ini terutama untuk program studi yang dinilai tidak menjanjikan, seperti hama, pemuliaan tanaman, tanah, dan penyuluhan.
Akibatnya, banyak program studi pertanian yang sudah terspesialisasi ini kekurangan calon mahasiswa. Hal itu bertolak belakang dengan program studi agrobisnis yang justru kelebihan peminat. "Sekarang, bidang kerja di pertanian dianggap tidak menjanjikan," kata Suntoro yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Sebelas Maret.
M Ahmad Chozin, Wakil Rektor Bidang Akademik Institut Pertanian Bogor, mengatakan, penurunan minat dan aksesibilitas merupakan isu utama peningkatan SDM pertanian saat ini.
Pada seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun lalu, dari 470 program studi yang daya tampungnya tidak terpenuhi, sebanyak 213 program studi di antaranya (45,3 persen) terkait erat dengan pertanian.
Chozin mengatakan, rendahnya minat terhadap pertanian sangat ironis karena Indonesia merupakan negara agraris. Pemerintah juga kurang memerhatikan pertanian sehingga ketahanan pangan menjadi rawan karena mengandalkan impor. (ELN)
Kamis, 17 Januari 2008
How Brazil Outfarmed American Farmers
After a half-century of dominance, the U.S. is losing its edge in agriculture to a booming, high-tech Latin American powerhouse. Its secret weapon? Soybeans.
By Susanna B. Hecht and Charles C. Mann
(Fortune Magazine) -- Phil Corzine is not abandoning Illinois. A longtime soybean farmer in Assumption, a small town east of Springfield, he is firmly loyal to his state - he once ran the Illinois Soybean Checkoff Board, a program in which Illinois farmers promote Illinois soybeans. But the 1,300 acres Corzine planted in 2007 are not in Illinois, or even in the Midwest. They're in central Brazil, in the state of Tocantins, part of a big swath of soy-producing lands that stretch between the Andes and the Atlantic forest and from northern Argentina to the southern flanks of the Amazon basin. Soylandia, as this immense region might be called, is almost entirely unknown to Americans. But it may well be the future of one of the world's most important industries: grain agriculture.
Mainly out of curiosity, Corzine visited Brazil in 1998. Like most U.S. soy producers, he'd noted Brazil's rapid rise in the trade - from amateur to global power in the space of a couple of decades. Its scale of operations, however, stunned him. A big farm in Illinois may cover 3,000 acres; spreads in Soylandia are routinely ten times bigger. Conditions there were primitive, Corzine thought, but Soylandia was going to expand in a way that was no longer possible in the U.S. With three partners he raised $1.3 million from more than 90 investors, mostly Midwestern farmers. In Illinois, he says, that kind of money "can't even buy the equipment, let alone the land." In Brazil it was enough for Corzine's group to acquire 3,500 acres in 2004. Since then, the land has almost doubled in value as other American investors clamored to get into Brazilian soy. This year Corzine, now 49, raised another $400,000. "We feel like what's going on is long-term positive," he says with Midwestern understatement.
Twenty years ago it would have seemed absurd for an American farmer to move into South America. U.S. growers still aren't rushing in en masse - Corzine's consortium is one of perhaps 300 U.S. groups invested in the area - but the notion of doing so no longer seems ridiculous. Today Soylandia, with nearly 60% of the world market, dominates the global soy trade. And Brazil - the heart of Soylandia - is an agricultural powerhouse. Not only is it the world's biggest soy exporter, a title it seized from the U.S. in 2006, but it has the world's biggest farm trade surplus, $27.5 billion last year. (The U.S. surplus was $4.6 billion.) The leading producer of beef, poultry, pork, ethanol, coffee, orange juice concentrate, sugar, and tobacco, Brazil has seen farm exports grow an average of 20% a year since 2000, according to the USDA.
But of all those products, soy is by far the most important - and demand is exploding. Asia has long produced its own soy foods: tofu, soymilk, miso. Now soy is ever more prominent in the U.S. diet, though it is often hidden by aliases like "hydrolyzed vegetable protein." Meanwhile the use of soy for animal feed is soaring. China wants it for its fast-growing poultry, swine, and fish-farming industries, while Europe increasingly demands it because soy-fed cattle can't develop mad cow disease.
The main boost in demand, however, is industrial. Nontoxic, nonpolluting, and biodegradable, soy is becoming the precursor of choice for manufacturing paints, solvents, textiles, lubricants, plastics of every variety, and countless other products. Soy provides oil for chainsaw motors in Montana, glue for plywood cabinets in Michigan, foam insulation for offices in Massachusetts, and backing for artificial turf in putting greens and stadiums throughout the Midwest. In July, Ford ( F, Fortune 500) announced it would replace the petroleum-based polyurethane foam cushions in its car seats with cushions made from soy foam. The company's first green-seat car: the 2008 Mustang. Muscle-car soy! More important still, the fuel in the tank can also be made from soy biodiesel. With oil stumbling toward $100 a barrel, Brazil is positioned to become the Saudi Arabia of biofuels. (It could also become a Saudi-like power in conventional fuel: Last year the state oil company, Petrobras ( PZE), found the biggest new petroleum reserve in 30 years 155 miles offshore from Rio de Janeiro.)
Ordinarily the soy boom would represent a huge opportunity for U.S. agriculture. Since World War II, U.S. farmers have led the world in the three most important staple crops: wheat, corn, and soy. Midwestern harvests have steadily increased during that time, in large part due to American prowess at moving laboratory innovations - improved seeds, new fertilizing methods - to the field and to the global market. Along the way, agriculture became the crown jewel of U.S. exports. Even as cars, steel, and other former standouts lost market share to foreign competitors, agriculture reliably put up impressive U.S. balance of trade numbers, partially offsetting America's apparently limitless appetite for Pokémons, Perrier, and Priuses.
Today that is changing. As the rise of Soylandia demonstrates, crops formerly dominated by temperate-zone producers can be transformed into tropical commodities. Latin American soy production is the equal of anything in Iowa or Illinois. Indeed, it's often better: Soybean yields in Brazil have surpassed the U.S. in three of the past six years. Average costs per bushel in the U.S. are about $6.70, including domestic and ocean freight, while Brazilians weigh in at $5.05.
In the U.S., soy has little room left to expand. There just isn't much unused good farmland left. Worse, ethanol subsidies have driven the prices for corn so high that many American soy farmers are switching crops. Despite the global rise in soy demand and near-record prices, the USDA reported in July that U.S. soy plantings fell by 15% in 2007, to 64.1 million acres - the lowest level in 12 years. Meanwhile, the United Nations reports that the four main nations of Soylandia - Brazil, Argentina, Paraguay, and Bolivia - were growing almost 100 million acres as of 2005, the most recent year with reliable data. And that number is increasing as much as 5% a year.
Labor and land are cheap in Soylandia, but that's not why it is shaking up the farming world. Instead, its advantages are due to its native climate and home-grown technology. Because Soylandia lies in the tropics, its growing season is nearly year-round. Two - and with irrigation, three - crops a year are the norm. In addition, the region is less vulnerable to climatic extremes than the southern and western zones of the Midwest, which are at constant risk of drought and flooding - a risk that may be exacerbated in temperate zones by global warming. South America "has a clear comparative advantage," says Peter Goldsmith, director of the National Soy Research Center at the University of Illinois. "In the long run, there's no obvious way for American farmers to catch up. I wouldn't bet against these people." South American soy, he says, "is a kind of competition America has never faced before."
Almost nobody in Brazil actually eats soy. In this notoriously carnivorous land, the very idea of tofu is enough to cause a shudder. But as far back as the 1960s, some Brazilians recognized that the Asian bean - Glycine max, to biologists - represented both a major business opportunity and a potential solution to an intractable problem.
The dilemma was what to do with Brazil's vast middle west, centered on the state of Mato Grosso, which is 1 1/2 times the size of Texas. "Less probably is known about the interior of Mato Grosso than any other inhabited place of equal size in the world," wrote the journalist and traveler Peter Fleming (brother of the James Bond creator) in 1933. Even in the 1960s no decent roads or railroads connected it to the rest of the world. Its crumbling capital, Cuiabá, was then little more than a hardscrabble burg that serviced local cowboys and alligator poachers. Today Mato Grosso, with almost 15 million acres planted, leads Brazil in soy production, and Cuiabá (pop. 550,000) is the capital of Soylandia.
The state's current prosperity - and its source - would have startled Fleming. Most of Mato Grosso is covered by cerrado, wooded savanna that sprawls over 700,000 square miles of Brazil, including much of the southern Amazon basin. For decades after Fleming wrote, agricultural researchers believed Glycine max could not prosper there. The plant, imported to Brazil in the 19th century by Japanese laborers, needs long exposure to sunlight; the uniform 12-hour day at the equator is simply too short. (By contrast, Iowa summer days can be more than 15 hours long.) In addition, soy, like other legumes, uses symbiotic rhizobium bacteria in its roots to "fix" nitrogen into the soil, reducing the need for fertilizer. But because nitrogen-fixing bacteria can't survive in the cerrado's highly acidic, aluminum-rich soils, farms would have to be heavily fertilized with lime, a significant cost disadvantage. Even if the poor farmers on the cerrado had somehow managed to eke out a crop, they could not have exported it - Soylandia's potholed dirt roads were impassable much of the year.
In the 1960s the generals who then ruled Brazil looked at their maps and observed to their displeasure that about 60% of the country was empty (actually, it was filled with Indians, the descendents of escaped slaves, peasant farmers, and other forest peoples, but the government dismissed them). To the generals' way of thinking, filling the emptiness was a matter of national security; in any case, like authoritarians everywhere, they wanted to do big projects.
In a program that would later trigger worldwide protests, the generals began linking the brand-new, ultramodernist capital, Brasília (itself an earlier megaproject) , to a network of roads across the interior to the port cities of rain forest Amazonia. Much of the road system went through the cerrado rather than the better-known rain forest. Not only was it much easier to clear, but it was then not even in the environmentalists' sights even though the dry forest is almost as biologically diverse as the wet forest.
One of the highways, BR-364, ran from São Paulo through Cuiabá to the west Amazon. In the 1970s and 1980s hundreds of thousands of migrants from central and southern Brazil thronged up BR-364, believing the generals' promises that they could begin new lives in agricultural settlements. Instead, the government lost control of the land rush, setting off violent battles among squatters, speculators, and ranchers over homestead titles. Many small holders abandoned their farms soon after clearing them - few crops would grow in the cerrado's soil. The big ranches didn't do much better, even though many received subsidies from the government.
Despite the economic failures, land wars, and ecological havoc, the generals viewed the settlement program as anything but a failure: It opened up the cerrado in Mato Grosso, then moved north through the rain forests and created conduits all the way up to the Amazon River. By the 1990s more than half of the cerrado had been burned and bulldozed into pasture or farmland.
By Susanna B. Hecht and Charles C. Mann
(Fortune Magazine) -- Phil Corzine is not abandoning Illinois. A longtime soybean farmer in Assumption, a small town east of Springfield, he is firmly loyal to his state - he once ran the Illinois Soybean Checkoff Board, a program in which Illinois farmers promote Illinois soybeans. But the 1,300 acres Corzine planted in 2007 are not in Illinois, or even in the Midwest. They're in central Brazil, in the state of Tocantins, part of a big swath of soy-producing lands that stretch between the Andes and the Atlantic forest and from northern Argentina to the southern flanks of the Amazon basin. Soylandia, as this immense region might be called, is almost entirely unknown to Americans. But it may well be the future of one of the world's most important industries: grain agriculture.
Mainly out of curiosity, Corzine visited Brazil in 1998. Like most U.S. soy producers, he'd noted Brazil's rapid rise in the trade - from amateur to global power in the space of a couple of decades. Its scale of operations, however, stunned him. A big farm in Illinois may cover 3,000 acres; spreads in Soylandia are routinely ten times bigger. Conditions there were primitive, Corzine thought, but Soylandia was going to expand in a way that was no longer possible in the U.S. With three partners he raised $1.3 million from more than 90 investors, mostly Midwestern farmers. In Illinois, he says, that kind of money "can't even buy the equipment, let alone the land." In Brazil it was enough for Corzine's group to acquire 3,500 acres in 2004. Since then, the land has almost doubled in value as other American investors clamored to get into Brazilian soy. This year Corzine, now 49, raised another $400,000. "We feel like what's going on is long-term positive," he says with Midwestern understatement.
Twenty years ago it would have seemed absurd for an American farmer to move into South America. U.S. growers still aren't rushing in en masse - Corzine's consortium is one of perhaps 300 U.S. groups invested in the area - but the notion of doing so no longer seems ridiculous. Today Soylandia, with nearly 60% of the world market, dominates the global soy trade. And Brazil - the heart of Soylandia - is an agricultural powerhouse. Not only is it the world's biggest soy exporter, a title it seized from the U.S. in 2006, but it has the world's biggest farm trade surplus, $27.5 billion last year. (The U.S. surplus was $4.6 billion.) The leading producer of beef, poultry, pork, ethanol, coffee, orange juice concentrate, sugar, and tobacco, Brazil has seen farm exports grow an average of 20% a year since 2000, according to the USDA.
But of all those products, soy is by far the most important - and demand is exploding. Asia has long produced its own soy foods: tofu, soymilk, miso. Now soy is ever more prominent in the U.S. diet, though it is often hidden by aliases like "hydrolyzed vegetable protein." Meanwhile the use of soy for animal feed is soaring. China wants it for its fast-growing poultry, swine, and fish-farming industries, while Europe increasingly demands it because soy-fed cattle can't develop mad cow disease.
The main boost in demand, however, is industrial. Nontoxic, nonpolluting, and biodegradable, soy is becoming the precursor of choice for manufacturing paints, solvents, textiles, lubricants, plastics of every variety, and countless other products. Soy provides oil for chainsaw motors in Montana, glue for plywood cabinets in Michigan, foam insulation for offices in Massachusetts, and backing for artificial turf in putting greens and stadiums throughout the Midwest. In July, Ford ( F, Fortune 500) announced it would replace the petroleum-based polyurethane foam cushions in its car seats with cushions made from soy foam. The company's first green-seat car: the 2008 Mustang. Muscle-car soy! More important still, the fuel in the tank can also be made from soy biodiesel. With oil stumbling toward $100 a barrel, Brazil is positioned to become the Saudi Arabia of biofuels. (It could also become a Saudi-like power in conventional fuel: Last year the state oil company, Petrobras ( PZE), found the biggest new petroleum reserve in 30 years 155 miles offshore from Rio de Janeiro.)
Ordinarily the soy boom would represent a huge opportunity for U.S. agriculture. Since World War II, U.S. farmers have led the world in the three most important staple crops: wheat, corn, and soy. Midwestern harvests have steadily increased during that time, in large part due to American prowess at moving laboratory innovations - improved seeds, new fertilizing methods - to the field and to the global market. Along the way, agriculture became the crown jewel of U.S. exports. Even as cars, steel, and other former standouts lost market share to foreign competitors, agriculture reliably put up impressive U.S. balance of trade numbers, partially offsetting America's apparently limitless appetite for Pokémons, Perrier, and Priuses.
Today that is changing. As the rise of Soylandia demonstrates, crops formerly dominated by temperate-zone producers can be transformed into tropical commodities. Latin American soy production is the equal of anything in Iowa or Illinois. Indeed, it's often better: Soybean yields in Brazil have surpassed the U.S. in three of the past six years. Average costs per bushel in the U.S. are about $6.70, including domestic and ocean freight, while Brazilians weigh in at $5.05.
In the U.S., soy has little room left to expand. There just isn't much unused good farmland left. Worse, ethanol subsidies have driven the prices for corn so high that many American soy farmers are switching crops. Despite the global rise in soy demand and near-record prices, the USDA reported in July that U.S. soy plantings fell by 15% in 2007, to 64.1 million acres - the lowest level in 12 years. Meanwhile, the United Nations reports that the four main nations of Soylandia - Brazil, Argentina, Paraguay, and Bolivia - were growing almost 100 million acres as of 2005, the most recent year with reliable data. And that number is increasing as much as 5% a year.
Labor and land are cheap in Soylandia, but that's not why it is shaking up the farming world. Instead, its advantages are due to its native climate and home-grown technology. Because Soylandia lies in the tropics, its growing season is nearly year-round. Two - and with irrigation, three - crops a year are the norm. In addition, the region is less vulnerable to climatic extremes than the southern and western zones of the Midwest, which are at constant risk of drought and flooding - a risk that may be exacerbated in temperate zones by global warming. South America "has a clear comparative advantage," says Peter Goldsmith, director of the National Soy Research Center at the University of Illinois. "In the long run, there's no obvious way for American farmers to catch up. I wouldn't bet against these people." South American soy, he says, "is a kind of competition America has never faced before."
Almost nobody in Brazil actually eats soy. In this notoriously carnivorous land, the very idea of tofu is enough to cause a shudder. But as far back as the 1960s, some Brazilians recognized that the Asian bean - Glycine max, to biologists - represented both a major business opportunity and a potential solution to an intractable problem.
The dilemma was what to do with Brazil's vast middle west, centered on the state of Mato Grosso, which is 1 1/2 times the size of Texas. "Less probably is known about the interior of Mato Grosso than any other inhabited place of equal size in the world," wrote the journalist and traveler Peter Fleming (brother of the James Bond creator) in 1933. Even in the 1960s no decent roads or railroads connected it to the rest of the world. Its crumbling capital, Cuiabá, was then little more than a hardscrabble burg that serviced local cowboys and alligator poachers. Today Mato Grosso, with almost 15 million acres planted, leads Brazil in soy production, and Cuiabá (pop. 550,000) is the capital of Soylandia.
The state's current prosperity - and its source - would have startled Fleming. Most of Mato Grosso is covered by cerrado, wooded savanna that sprawls over 700,000 square miles of Brazil, including much of the southern Amazon basin. For decades after Fleming wrote, agricultural researchers believed Glycine max could not prosper there. The plant, imported to Brazil in the 19th century by Japanese laborers, needs long exposure to sunlight; the uniform 12-hour day at the equator is simply too short. (By contrast, Iowa summer days can be more than 15 hours long.) In addition, soy, like other legumes, uses symbiotic rhizobium bacteria in its roots to "fix" nitrogen into the soil, reducing the need for fertilizer. But because nitrogen-fixing bacteria can't survive in the cerrado's highly acidic, aluminum-rich soils, farms would have to be heavily fertilized with lime, a significant cost disadvantage. Even if the poor farmers on the cerrado had somehow managed to eke out a crop, they could not have exported it - Soylandia's potholed dirt roads were impassable much of the year.
In the 1960s the generals who then ruled Brazil looked at their maps and observed to their displeasure that about 60% of the country was empty (actually, it was filled with Indians, the descendents of escaped slaves, peasant farmers, and other forest peoples, but the government dismissed them). To the generals' way of thinking, filling the emptiness was a matter of national security; in any case, like authoritarians everywhere, they wanted to do big projects.
In a program that would later trigger worldwide protests, the generals began linking the brand-new, ultramodernist capital, Brasília (itself an earlier megaproject) , to a network of roads across the interior to the port cities of rain forest Amazonia. Much of the road system went through the cerrado rather than the better-known rain forest. Not only was it much easier to clear, but it was then not even in the environmentalists' sights even though the dry forest is almost as biologically diverse as the wet forest.
One of the highways, BR-364, ran from São Paulo through Cuiabá to the west Amazon. In the 1970s and 1980s hundreds of thousands of migrants from central and southern Brazil thronged up BR-364, believing the generals' promises that they could begin new lives in agricultural settlements. Instead, the government lost control of the land rush, setting off violent battles among squatters, speculators, and ranchers over homestead titles. Many small holders abandoned their farms soon after clearing them - few crops would grow in the cerrado's soil. The big ranches didn't do much better, even though many received subsidies from the government.
Despite the economic failures, land wars, and ecological havoc, the generals viewed the settlement program as anything but a failure: It opened up the cerrado in Mato Grosso, then moved north through the rain forests and created conduits all the way up to the Amazon River. By the 1990s more than half of the cerrado had been burned and bulldozed into pasture or farmland.
Desain Forum SRI
On Behalf Of Bustanul Arifin
To: ipb-link@yahoogroup s.com
Subject: [linkers] Desain Forum Ina-SRI
Pak Is dan teman2 semua, Selamat atas suksesnya acara Workshop SRI kemarin. Saya boleh daftar jadi anggota 'kan? Terima kasih ya..Saya ada pemikiran bahwa opsi pertama desain Forum Ina-Sri ini menjadi web-based discussion, sehingga lebih fokus.
Bukan seperti milis ipb-linkers ini, yang sangat-sangat bebas, dan sering ke mana-mana. Langkah awal adalah mendesain website, kasih nama saja Ina-SRI atau apa saja yang menurut pertemuan kemarin mudah diingat massa. Yang penting seksi, eye-catching, dan gampang disebarluaskan.
Nanti, Pak Is kerahkan mahasiswa, terutama bimbingan, yang sering dibelikan nasi bungkus itu, untuk meng-upload SEMUA informasi tentang SRI, khususnya SRI di Indonesia Bagian Timur, yang selama ini jadi andalan permbicaraan. Mahasiswa Pak Iswandi itu dimohon mampu membuat inti-sari (maksimum 2000 kata) tentang informasi yang dimaksud.
Sedapat mungkin artikel tentang informasi itu dibuat dalam bentuk HTML ready, sehingga mudah di-klik dan dibaca. Dari sanalah diskusi dan forum komunikasi itu bisa dibangun. Insya Allah berkembang.
Jika pembaca ingin mengetahui informasi lengkap, ya sediakan saja fasilitas unduh (download) artikel aslinya dalam format PDF, sehingga karya hak cipta seseorang tetap dijunjung tinggi.
Risiko model diskusi web-based seperti ini, memang sering stagnan. Jarang ada yang menanggapi, karena kesibukan para pembaca dan keraguan bahwa komentarnya nanti dianggap tidak qualified dsb. Maklum, masyarakat kita masih boleh dibulang masyarakat tutur (oral tradition), bukan masyarakat baca dan tulis.
Jika toh nanti stagnan, ya tidak apa-apa, karena pengurus/pengelola Ina-Sri telah membuka ruang komunikasi yang diharapkan. Minimal, Ina-Sri telah menjadi semacam "clearing house" untuk diseminasi informasi apa pun tentang SRI. Nanti, pelan-pelan bisa bikin program, dana hibah, riset bersaing (yah, kecil-kecilan kelas Rp 10 juta ke bawah), ditawarkan ke seluruh Indonesia.
Saya yakin akan banyak para pemodal (dan program pemerintah) yang mau kontribusi uang, jika memang prospektif.Desain model kedua, ya buat mailing-list seperti Linkers. Tapi, saya cuma kepikiran saja, masak tidak ada diversifikasi model berdiskusi? Jika dianggaplah Ina-SRI anak angkat dari linkers, bukankan anak sebaiknya berbeda (lebih baik) dari orang tuanya?Mas Imam dan segenap stafnya punya pengalaman mendesain www.wiraswasta. net.
Awalnya para peserta beremangat. Walaupun semakin lama semakin stagnan, websites wiraswasta.net tetap menjadi clearing house beberapa informasi tentang wiraswasta di Indonesia. Nah, mahasiswa dan staf Pak Iswandi toh akan selalu berganti setiap satu atau dua tahun. Oleh karena itu, pengalaman aktif di Ina-SRI nantinya dapat menjadi ajang pembelajaran mereka sebelum terjun di dunia kerja yang sebenarnya.
Mungkin nanti, ada yang sangat betah di sana...Begini dulu dari saya. Lebih kurangnya mohon maaaf.
Salam hangat dari Sydney.
To: ipb-link@yahoogroup s.com
Subject: [linkers] Desain Forum Ina-SRI
Pak Is dan teman2 semua, Selamat atas suksesnya acara Workshop SRI kemarin. Saya boleh daftar jadi anggota 'kan? Terima kasih ya..Saya ada pemikiran bahwa opsi pertama desain Forum Ina-Sri ini menjadi web-based discussion, sehingga lebih fokus.
Bukan seperti milis ipb-linkers ini, yang sangat-sangat bebas, dan sering ke mana-mana. Langkah awal adalah mendesain website, kasih nama saja Ina-SRI atau apa saja yang menurut pertemuan kemarin mudah diingat massa. Yang penting seksi, eye-catching, dan gampang disebarluaskan.
Nanti, Pak Is kerahkan mahasiswa, terutama bimbingan, yang sering dibelikan nasi bungkus itu, untuk meng-upload SEMUA informasi tentang SRI, khususnya SRI di Indonesia Bagian Timur, yang selama ini jadi andalan permbicaraan. Mahasiswa Pak Iswandi itu dimohon mampu membuat inti-sari (maksimum 2000 kata) tentang informasi yang dimaksud.
Sedapat mungkin artikel tentang informasi itu dibuat dalam bentuk HTML ready, sehingga mudah di-klik dan dibaca. Dari sanalah diskusi dan forum komunikasi itu bisa dibangun. Insya Allah berkembang.
Jika pembaca ingin mengetahui informasi lengkap, ya sediakan saja fasilitas unduh (download) artikel aslinya dalam format PDF, sehingga karya hak cipta seseorang tetap dijunjung tinggi.
Risiko model diskusi web-based seperti ini, memang sering stagnan. Jarang ada yang menanggapi, karena kesibukan para pembaca dan keraguan bahwa komentarnya nanti dianggap tidak qualified dsb. Maklum, masyarakat kita masih boleh dibulang masyarakat tutur (oral tradition), bukan masyarakat baca dan tulis.
Jika toh nanti stagnan, ya tidak apa-apa, karena pengurus/pengelola Ina-Sri telah membuka ruang komunikasi yang diharapkan. Minimal, Ina-Sri telah menjadi semacam "clearing house" untuk diseminasi informasi apa pun tentang SRI. Nanti, pelan-pelan bisa bikin program, dana hibah, riset bersaing (yah, kecil-kecilan kelas Rp 10 juta ke bawah), ditawarkan ke seluruh Indonesia.
Saya yakin akan banyak para pemodal (dan program pemerintah) yang mau kontribusi uang, jika memang prospektif.Desain model kedua, ya buat mailing-list seperti Linkers. Tapi, saya cuma kepikiran saja, masak tidak ada diversifikasi model berdiskusi? Jika dianggaplah Ina-SRI anak angkat dari linkers, bukankan anak sebaiknya berbeda (lebih baik) dari orang tuanya?Mas Imam dan segenap stafnya punya pengalaman mendesain www.wiraswasta. net.
Awalnya para peserta beremangat. Walaupun semakin lama semakin stagnan, websites wiraswasta.net tetap menjadi clearing house beberapa informasi tentang wiraswasta di Indonesia. Nah, mahasiswa dan staf Pak Iswandi toh akan selalu berganti setiap satu atau dua tahun. Oleh karena itu, pengalaman aktif di Ina-SRI nantinya dapat menjadi ajang pembelajaran mereka sebelum terjun di dunia kerja yang sebenarnya.
Mungkin nanti, ada yang sangat betah di sana...Begini dulu dari saya. Lebih kurangnya mohon maaaf.
Salam hangat dari Sydney.
Rabu, 16 Januari 2008
Pak Alit Sutarya, Pembicara SRI
Saya sempat agak bengong dan merasa aneh, ketika membaca biodata Pak Alit Sutaryat yang jadi pembicara ketiga SRI kemarin. Beliau beralamat di Jl Raya Lakbok No.1, Lakbok, Banjarsari, Ciamis. Sama-sama Banjarsari dengan mertua yang dulunya juga bersawah-sawah, sampai sekarang dengan para pemaroh2nya. Tetapi, bertahun-tahun saya bolak-balik ke kampung mertua itu, gak pernah kedengaran SRI ini.
Melihat pemaroh2 di sawah mertua cukup menyedihkan, karena setengah mati berupaya mengada-adakah input2 pertanian pagi sawahnya, tetapi hasil sangat memprihatinkan. Akhir2 ini, dengan pupuk yang sangat mahal, semua semakin menjadi serba minim.
Ke Kang Hendra dengan rombongan petani2 Wadonya, saya berharap, ayo mulai saja kita uji di lahan-lahan kita itu. Dari seminar kemarin, gak ada rocket sciencenya, kita mulai saja action!!!
Bravo!!!
is
Melihat pemaroh2 di sawah mertua cukup menyedihkan, karena setengah mati berupaya mengada-adakah input2 pertanian pagi sawahnya, tetapi hasil sangat memprihatinkan. Akhir2 ini, dengan pupuk yang sangat mahal, semua semakin menjadi serba minim.
Ke Kang Hendra dengan rombongan petani2 Wadonya, saya berharap, ayo mulai saja kita uji di lahan-lahan kita itu. Dari seminar kemarin, gak ada rocket sciencenya, kita mulai saja action!!!
Bravo!!!
is
Rice Culture is Nothing, but Music
Rice Culture is Nothing, but Music
Oleh: Ki Denggleng Pagelaran
BUDAYA INDONESIA BELUM ADA ???
Doktor Karlina Leksono pada Diskusi Panel Perkembangan Ilmu dan Teknologi (IPTEK) serta Dampaknya terhadap Budaya Bangsa hampir lima tahun lalu “ Bentara Budaya Jakarta, 17/9-2002 “ memaparkan makalah bertema Kontekstualisasi Falsafah Sains dalam Budaya Indonesia. Makalah yang sangat hidup bernuansakan seni filsafati itu diberi judul "Sains: Menjadikannya Berdarah Bertulang Belulang Manusia". Sayang sekali bahwa pernyataan yang terkait dengan budaya Indonesia , tidak begitu menonjol. Di sesi lain pada acara yang sama, Profesor Teuku Yacob bahkan menyatakan: "Budaya Indonesia yang homogen sebagai satu kesatuan yang mudah dikenal atau didefinisi, menurut hemat saya belumlah ada!"
Memang sangat sulit menemukan dan membangun budaya homogen bagi seluruh lingkup budaya Nusantara yang beraneka ragam. Mungkin juga semboyan pada bentangan pita putih tempat bertenggernya Paksi Garuda Pancasila, menjadi tidak utuh. Cukup sampai Bhineka Tunggal! Sebab, meskipun penerapan dan pengembangan ilmu dan teknologi semakin canggih, justru telah membawa penyeragaman tingkat lanjut, khususnya yang menimpa budaya pertanian. Pertanian adalah salah satu penciri budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa agraris dan maritim.
KETERGANTUNGAN PERTANIAN INDONESIA
Pertanian Indonesia dewasa ini sudah menderita ketergantungan yang sangat parah terhadap ilmu dan teknologi modern. Khususnya pada subsektor pertanian tanaman pangan. Berita kelangkaan pupuk urea bagi petani karena berkurangnya pasokan gas sebagai bahan baku urea beberapa tahun lalu, segera membawa kekhawatiran nasional akan kelangkaan pangan. Ini menunjukkan bahwa dampak perkembangan teknologi pertanian berinput tinggi telah mengikis ketangguhan budaya pertanian warisan leluhur. Indigenous knowledge pertanian Nusantara yang kaya padi hilang terkikis ketika teknologi budidaya tanaman dari luar Nusantara diterapkan dengan serta-merta.
Teknik budidaya “ yang dianggap modern “ itu belum sempat diadopsi dan diadaptasikan dengan budaya Nusantara. Oleh karena itu ibarat dua arus sungai yang bertemu, penerapan teknologi pertanian modern pada budaya pertanian tradisional merupakan suatu campuh arus pusaran kali tempuran sebelum menjadi satu arus besar ke hilir. Dominansi arus teknologi yang bertakaran ekonomi, rupanya lebih kuat dan mendesak budaya pertanian indigenous yang kosmo-spiritualis.
Tiba-tiba sebagai bangsa kita menemukan diri telah menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Tiba-tiba kita menemukan bahwa luas panenan padi nasional tidak pernah berkembang, bahkan menyusut. Tiba-tiba kita temukan bahwa petani padi tidak lagi pandai membaca alam dan musim. Pranata mangsa menjadi lenyap dari memori petani. Kita mendapati petani padi yang tidak menguasai lagi cara bercocok-tanam palawija. Lahan sawah beririgasi teknis tak henti-hentinya ditanami padi, padi dan padi lagi sepanjang tahun. Setiap tahun hampir seluruh biomasa padi diangkut keluar dari lahan persawahan. Lahan sawah semakin kurus, sehingga semakin tinggi kebutuhan pupuk yang harus dimasukkan ke dalamnya untuk menjaga stamina dan kesuburan lahan.
Sustainabilitas lahan dan usahatani tanaman pangan sudah menjadi sesuatu yang berbiaya mahal. Pernah ada informasi bahwa kebutuhan pupuk lahan sawah pantai utara Jawa Barat, bila dihitung mencapai Rp 1.2 trilliyun setiap musim tanam. Maka tak aneh bila guncangan sedikit saja dalam penyediaan pupuk, dengan mudahnya memicu kekhawatiran akan kelangkaan pangan.
Panenan padi diterjemahkan menjadi angka-angka secara menyeluruh. Budaya ani-ani (panen padi secara selektif dengan ketam) digantikan dengan budaya sabit bergerigi, weton Taiwan . Singkatnya semangat intensifikasi meninggalkan ekstensifikasi. Akibatnya lahan petani semakin menyempit. Budaya sawah yang penuh kekeluargaan dan kerukunan berubah menjadi hubungan transaksi antara petani, tengkulak dan Dolog/Bulog. Usahatani padi tak lebih dari sekedar barter waktu buruh tani dengan upah. Angka atau nilai rupiahlah yang berbicara. Jerih payah petani tanaman pangan sepenuhnya dinilai dengan uang. Dan itu terlalu murah!
Buktinya? Ketika panen melimpah harga menjadi murah, sementara petani telah kehilangan budaya menyiapkan lumbung, penyimpan padi dan gabah. Pertanian telah sangat bergantung kepada oknum-oknum serakah. Dengan dalih pengembangan akademik, usahatani beralih nama menjadi agrobisnis, bisnis-nya menjadi subyek, agro-nya sekedar predikat, karena cederung mengikuti LOGIKA BAHASA INGGRIS. Semua korbanan usahatani dinilai sebagai sumberdaya.
Menilai jumlah pupuk menjadi sama saja dengan menilai upah tenaga kerja. Pertanian telah kehilangan wajah kemanusiaannya!
Sedang sesungguhnya pertanian tradisional membawa greget sosial dan juga membawa keindahan. Sesungguhnya bercocok-tanam adalah wujud budaya dan seni pertanian itu sendiri. Tetapi ketika segala sesuatunya dinilai dengan uang, maka hambarlah budaya pertanian itu. Menyisakan rona budaya papa-cintraka yang disingkiri bahkan oleh anak-cucu petani itu sendiri. Ibu Pertiwi tak sanggup memberi makan kepada anak-anak bangsanya. Dapatkah semua itu diperbaiki dan dikembalikan?UDAYA PADI = MUSIK
Kembali kepada event diskusi panel saat Dr Karlina memaparkan makalahnya. Ketika itu Profesor Justika Baharsjah hadir sebagai peserta. Ketika beliau mendapatkan kesempatan bertanya dan memberikan tanggapan, betapa lebih nyatanya fakta keterdesakan budaya pertanian dalam arus perkembangan IPTEK (Tanpa S - tanpa seni). Profesor Justika, menyampaikan dan memperkenalkan yayasan yang dipimpinnya, Yayasan Padi Indonesia (YAPADI), yang bermotto Rice Not Merely Food “ Padi Bukan Sekedar Pangan.
Ironisnya, sekarang ini akibat pertambahan penduduk yang tanpa diimbangi dengan perluasan lahan panen, padi sudah menunjukkan kelangkaan, paling tidak semakin defisit (tekort) dari tahun ke tahun.
Dengan demikian motto YAPADI menjadi tantangan berat bagi pegiat dan simpatisan pertanian nasional. Visi YAPADI akan sangat berat untuk diwujudkan, misinya menjadi berat dilaksanakan. Visi YAPADI yang cukup panjang berbunyi "A prosperous Indonesia which is capable to provide food for its people, loves and respects its rich rice culture heritage, pays attention to the welfare of rice producers and consumers, and assesses the value of rice field as a valuable asset to be bequeathed to the future generations."
Sungguh suatu cita-cita mulia dan sempurna bagi eksistensi bangsa agraris yang pangan utamanya berbasis nasi dari beras.
Tak heran bila misi yang akan dilaksanakan oleh YAPADI berbunyi: "To mobilize and support all endeavors to stimulate the society's awareness and appreciation on the many roles of rice in Indonesia, and to support farmers for producing enough rice to meet the continuously increasing need without degrading the environment."
Visi dan Misi YAPADI sarat dengan penghargaan tinggi terhadap padi. Budaya pertanian berbasis padi, apa bila berhasil dihidupkan dan disuburkan kembali, maka akan semarak pula kehidupan kebudayaan pertanian Indonesia yang bernuansakan seni dan keindahan bercocok tanam.
Dalam rangka turut serta membantu Prof. Justika menyebarluaskan visi dan misi YAPADI inilah, tulisan ini saya coba sampaikan di hadapan para pembaca budiman. YAPADI adalah upaya yang cukup bermakna dari segelintir insan peduli padi di Indonesia ini. Keberhasilan YAPADI akan merupakan sumbangan besar bagi upaya bangsa ini untuk lepas dari belenggu ketergantungan impor beras. Dan bila itu tercapai maka untuk pertanian, IPTEK akan bertambah huruf menjadi IPTEKS, yaitu seni. Dengan demikian, untuk budaya bercocok-tanam padi, dengan meminjam ungkapan Dr. Karlina yang mengutip Bryan Greene dalam mencitra alam semesta yang serba musik “ Universe is Nothing, but Music“ menjadi Rice Culture is Nothing, but Music.
Bogor , 10 Januari 2008 - dipermak dari tulisan lama (23 Maret 2005)
Ki Denggleng Pagelaran
Oleh: Ki Denggleng Pagelaran
BUDAYA INDONESIA BELUM ADA ???
Doktor Karlina Leksono pada Diskusi Panel Perkembangan Ilmu dan Teknologi (IPTEK) serta Dampaknya terhadap Budaya Bangsa hampir lima tahun lalu “ Bentara Budaya Jakarta, 17/9-2002 “ memaparkan makalah bertema Kontekstualisasi Falsafah Sains dalam Budaya Indonesia. Makalah yang sangat hidup bernuansakan seni filsafati itu diberi judul "Sains: Menjadikannya Berdarah Bertulang Belulang Manusia". Sayang sekali bahwa pernyataan yang terkait dengan budaya Indonesia , tidak begitu menonjol. Di sesi lain pada acara yang sama, Profesor Teuku Yacob bahkan menyatakan: "Budaya Indonesia yang homogen sebagai satu kesatuan yang mudah dikenal atau didefinisi, menurut hemat saya belumlah ada!"
Memang sangat sulit menemukan dan membangun budaya homogen bagi seluruh lingkup budaya Nusantara yang beraneka ragam. Mungkin juga semboyan pada bentangan pita putih tempat bertenggernya Paksi Garuda Pancasila, menjadi tidak utuh. Cukup sampai Bhineka Tunggal! Sebab, meskipun penerapan dan pengembangan ilmu dan teknologi semakin canggih, justru telah membawa penyeragaman tingkat lanjut, khususnya yang menimpa budaya pertanian. Pertanian adalah salah satu penciri budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa agraris dan maritim.
KETERGANTUNGAN PERTANIAN INDONESIA
Pertanian Indonesia dewasa ini sudah menderita ketergantungan yang sangat parah terhadap ilmu dan teknologi modern. Khususnya pada subsektor pertanian tanaman pangan. Berita kelangkaan pupuk urea bagi petani karena berkurangnya pasokan gas sebagai bahan baku urea beberapa tahun lalu, segera membawa kekhawatiran nasional akan kelangkaan pangan. Ini menunjukkan bahwa dampak perkembangan teknologi pertanian berinput tinggi telah mengikis ketangguhan budaya pertanian warisan leluhur. Indigenous knowledge pertanian Nusantara yang kaya padi hilang terkikis ketika teknologi budidaya tanaman dari luar Nusantara diterapkan dengan serta-merta.
Teknik budidaya “ yang dianggap modern “ itu belum sempat diadopsi dan diadaptasikan dengan budaya Nusantara. Oleh karena itu ibarat dua arus sungai yang bertemu, penerapan teknologi pertanian modern pada budaya pertanian tradisional merupakan suatu campuh arus pusaran kali tempuran sebelum menjadi satu arus besar ke hilir. Dominansi arus teknologi yang bertakaran ekonomi, rupanya lebih kuat dan mendesak budaya pertanian indigenous yang kosmo-spiritualis.
Tiba-tiba sebagai bangsa kita menemukan diri telah menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Tiba-tiba kita menemukan bahwa luas panenan padi nasional tidak pernah berkembang, bahkan menyusut. Tiba-tiba kita temukan bahwa petani padi tidak lagi pandai membaca alam dan musim. Pranata mangsa menjadi lenyap dari memori petani. Kita mendapati petani padi yang tidak menguasai lagi cara bercocok-tanam palawija. Lahan sawah beririgasi teknis tak henti-hentinya ditanami padi, padi dan padi lagi sepanjang tahun. Setiap tahun hampir seluruh biomasa padi diangkut keluar dari lahan persawahan. Lahan sawah semakin kurus, sehingga semakin tinggi kebutuhan pupuk yang harus dimasukkan ke dalamnya untuk menjaga stamina dan kesuburan lahan.
Sustainabilitas lahan dan usahatani tanaman pangan sudah menjadi sesuatu yang berbiaya mahal. Pernah ada informasi bahwa kebutuhan pupuk lahan sawah pantai utara Jawa Barat, bila dihitung mencapai Rp 1.2 trilliyun setiap musim tanam. Maka tak aneh bila guncangan sedikit saja dalam penyediaan pupuk, dengan mudahnya memicu kekhawatiran akan kelangkaan pangan.
Panenan padi diterjemahkan menjadi angka-angka secara menyeluruh. Budaya ani-ani (panen padi secara selektif dengan ketam) digantikan dengan budaya sabit bergerigi, weton Taiwan . Singkatnya semangat intensifikasi meninggalkan ekstensifikasi. Akibatnya lahan petani semakin menyempit. Budaya sawah yang penuh kekeluargaan dan kerukunan berubah menjadi hubungan transaksi antara petani, tengkulak dan Dolog/Bulog. Usahatani padi tak lebih dari sekedar barter waktu buruh tani dengan upah. Angka atau nilai rupiahlah yang berbicara. Jerih payah petani tanaman pangan sepenuhnya dinilai dengan uang. Dan itu terlalu murah!
Buktinya? Ketika panen melimpah harga menjadi murah, sementara petani telah kehilangan budaya menyiapkan lumbung, penyimpan padi dan gabah. Pertanian telah sangat bergantung kepada oknum-oknum serakah. Dengan dalih pengembangan akademik, usahatani beralih nama menjadi agrobisnis, bisnis-nya menjadi subyek, agro-nya sekedar predikat, karena cederung mengikuti LOGIKA BAHASA INGGRIS. Semua korbanan usahatani dinilai sebagai sumberdaya.
Menilai jumlah pupuk menjadi sama saja dengan menilai upah tenaga kerja. Pertanian telah kehilangan wajah kemanusiaannya!
Sedang sesungguhnya pertanian tradisional membawa greget sosial dan juga membawa keindahan. Sesungguhnya bercocok-tanam adalah wujud budaya dan seni pertanian itu sendiri. Tetapi ketika segala sesuatunya dinilai dengan uang, maka hambarlah budaya pertanian itu. Menyisakan rona budaya papa-cintraka yang disingkiri bahkan oleh anak-cucu petani itu sendiri. Ibu Pertiwi tak sanggup memberi makan kepada anak-anak bangsanya. Dapatkah semua itu diperbaiki dan dikembalikan?UDAYA PADI = MUSIK
Kembali kepada event diskusi panel saat Dr Karlina memaparkan makalahnya. Ketika itu Profesor Justika Baharsjah hadir sebagai peserta. Ketika beliau mendapatkan kesempatan bertanya dan memberikan tanggapan, betapa lebih nyatanya fakta keterdesakan budaya pertanian dalam arus perkembangan IPTEK (Tanpa S - tanpa seni). Profesor Justika, menyampaikan dan memperkenalkan yayasan yang dipimpinnya, Yayasan Padi Indonesia (YAPADI), yang bermotto Rice Not Merely Food “ Padi Bukan Sekedar Pangan.
Ironisnya, sekarang ini akibat pertambahan penduduk yang tanpa diimbangi dengan perluasan lahan panen, padi sudah menunjukkan kelangkaan, paling tidak semakin defisit (tekort) dari tahun ke tahun.
Dengan demikian motto YAPADI menjadi tantangan berat bagi pegiat dan simpatisan pertanian nasional. Visi YAPADI akan sangat berat untuk diwujudkan, misinya menjadi berat dilaksanakan. Visi YAPADI yang cukup panjang berbunyi "A prosperous Indonesia which is capable to provide food for its people, loves and respects its rich rice culture heritage, pays attention to the welfare of rice producers and consumers, and assesses the value of rice field as a valuable asset to be bequeathed to the future generations."
Sungguh suatu cita-cita mulia dan sempurna bagi eksistensi bangsa agraris yang pangan utamanya berbasis nasi dari beras.
Tak heran bila misi yang akan dilaksanakan oleh YAPADI berbunyi: "To mobilize and support all endeavors to stimulate the society's awareness and appreciation on the many roles of rice in Indonesia, and to support farmers for producing enough rice to meet the continuously increasing need without degrading the environment."
Visi dan Misi YAPADI sarat dengan penghargaan tinggi terhadap padi. Budaya pertanian berbasis padi, apa bila berhasil dihidupkan dan disuburkan kembali, maka akan semarak pula kehidupan kebudayaan pertanian Indonesia yang bernuansakan seni dan keindahan bercocok tanam.
Dalam rangka turut serta membantu Prof. Justika menyebarluaskan visi dan misi YAPADI inilah, tulisan ini saya coba sampaikan di hadapan para pembaca budiman. YAPADI adalah upaya yang cukup bermakna dari segelintir insan peduli padi di Indonesia ini. Keberhasilan YAPADI akan merupakan sumbangan besar bagi upaya bangsa ini untuk lepas dari belenggu ketergantungan impor beras. Dan bila itu tercapai maka untuk pertanian, IPTEK akan bertambah huruf menjadi IPTEKS, yaitu seni. Dengan demikian, untuk budaya bercocok-tanam padi, dengan meminjam ungkapan Dr. Karlina yang mengutip Bryan Greene dalam mencitra alam semesta yang serba musik “ Universe is Nothing, but Music“ menjadi Rice Culture is Nothing, but Music.
Bogor , 10 Januari 2008 - dipermak dari tulisan lama (23 Maret 2005)
Ki Denggleng Pagelaran
Langganan:
Postingan (Atom)